ANALISIS
KASUS KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN UU No.
20 TAHUN 2001 SEBAGAI ASPEK SIFAT MELAWAN HUKUM
Diajukan
guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana semester 2
Oleh
RIZKI
AMALIA PERTIWI
NIM
110710101294
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
Kata Pengantar
Segala
puji bagi Tuhan yang telah menolong limpahkan berkah sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan kemudahan. Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas ilmu tentang Sifat Melawan
Hukum, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Pidana semester dua. Makalah ini memuat tentang tema sifat melawan hukum yang
menganalisis kasus korupsi yang dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 sebagai aspek sifat melawan hukum.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Tidak ada
manusia yang sempurna termasuk dalam pengerjaan karya ilmiah ini juga memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima
kasih.
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak
Pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus (ius
singular, ius special atau bijzonder strafrecht) dan ketentuan hukum positif
(ius constitutum) Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Secara
yuridis formal pengertian tindak pidana korupsi[1] terdapat
dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan 20 Bab III
tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21
sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Dengan
bertitik tolak pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi dalam pasal tersebut adalah :
1. Setiap
orang
2. Perbuatan
tersebut sifatnya melawan hukum
3. Perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
4. Dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Dari
unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi tersebut maka rumusan mengenai unsur
Perbuatan Melawan Hukum penjabarannya lebih lanjut terdapat dalam penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan bahwa yang dimaksud
dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela akan tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara” menunjuk bahwa Tindak Pidana Korupsi cukup
dengan dipenuhinya unsure-unsur perbuatan yang sudah durumuskan dengan timbulnya
akibat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
definisi dan unsur sifat melawan hukum?
2. Bagaimana
analisis kasus korupsi jika dihubungkan dengan aspek sifat melawan hukum?
1.3 Perundang-undangan
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
2. Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
1.4 Tujuan
1. Pemenuhan
tugas mata kuliah Hukum Pidana
2. Memberikan
definisi dan unsur-unsur yang membangun sifat melawan hukum
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Definisi
Sifat Melawan Hukum
2.1.1 Definisi sifat melawan hukum
Seringkali dalam
praktek sehari-hari ada yang sepintas lalu sebagai perbuatan melawan hukum
tetapi undang-undang memandangnya sebagai diperbolehkan oleh hukum, jadi tidak
berlaku pembelaan terpaksa untuk melawannya. Misalnya perbuatan alat Negara
yang menangkap dan menahan orang yang diduga keras telah melakukan delik.
Disini jelas kelihatan melanggar kebebasan bergerak orang. Tetapi undang-undang
memandangnya sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum, karena perbuatan
tersebut sesuai dengan undang-undang yaitu pasal 21 KUHP.
Menurut
Hazewinkel – Suringa, pembelaan terpaksa (noodweer) itu merupakan dasar
pembenar, oleh karena itu barangsiapa yang membela diri mempunyai hak untuk
itu. Jadi, tidak dibolehkan pembelaan terpaksa (noodweer) terhadap pembelaan terpaksa
(noodweer). Pembelaan terpaksa hanya terjadi jika ada perbuatan membela diri
terhadap serangan yang melawan hukum.[2]
Kemudian, kita
lihat bahwa pengertian “melawan hukum” itu sendiri bermacam-macam. Ada
mengartikan sebagai “tanpa hak ssendiri” (Zonder eigen recht), “bertentangan
dengan hak orang lain” (tegen eens anders recht), “bertentangan dengan hukum
obyektif” (tegen het objective recht).
Menurut
Hazewinkel – Suringa, pilihan terhadap salah satu jenis “tanpa hak sendiri”,
“bertentangan dengan hak orang lain”, “bertentangan dengan hukum objektif”
tetap harus diperhatikan. Diberi contoh, serangan tiba-tiba binatang buas.
Menurut Van Hamel binatang ini berbuat tanpa hak sendiri dan dengan demikian
melawan hukum, dan diperbolehkan pembelaan terpaksa. Tetapi Hoge Raad dan
pengarang pada umumnya, binatang itu tidak tunduk kepada hukum, jadi tidak
mungkin berbuat bertentangan dengan hukum objektif, dan oleh karenanya tidak
merupakan “melawan hukum”. Tertutuplah kemungkinan pembelaan terpaksa Hoge Raad
menerima sebagai keadaan darurat (noodtoestand).[3]
Karena
bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, Noyon-Langemeyer (1954)
mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik
tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. Misalnya Hoge Raad dengan
Arrestnya tanggal 28 Juni 1911, dalam menerapkan Pasal 326 Ned : W.v.S. (=Pasal
378 KUHP) mengatakan “de dader geen eigen recht op de bevoordeling heft”
(terdakwa tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu). Menurut
Pompe “melawan hukum” dalam kasus tersebut berarti melawan hukum tidak
tertulis.[4]
Contoh lain,
menurut Hoge Raad 31 Oktober 1932, N.J. 1993 hlm. 321 melawan hukum menurut
pasal 522 KUHP yang mengancam pidana terhadap saksi, ahli atau juru bahasa yang
tidak datang secara melawan hukum yang dipanggil menurut undang-undang, berarti
: “Zonder geldige redden wegbleven, indien de betrokkene verplicht is te
verschhijnen” (tanpa alasan yang wajar tidak datang, yang bersangkutan wajib
menghadap).[5]
Dibedakan pula pengertian
melawan hukum formel dan materiel. Menurut Pompe, dari istilahnya saja sudah
jelas, melawan hukum (wederrech telijk) jadi bertentangan dengan hukum, bukan
bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, Pompe memandang “melawan
hukum” sebagai yang kita maksud dengan “melawan hukum materiel”. Ia melihat
kata on rechtmatig, (bertentangan dengan hukum) sinonim dengan Wederhechtelijk
(melawan hukum) sesuai dengan Pasal 1365 BW, sama dengan pengertian Hoge Raad
dalam perkara Cohen-Lindenbaum (HR 31 Januari 1919 N.J. 1919 hlm.161 W. 10365),
yang juga meliputi perbuatan bertentangan dengan hukum tidak tertulis, yang
bertentangan dengan kepatutan, dipandang melawan hukum.2 [6]
Sedangkan
melawan hukum secara formal diartikan bertentangan dengan undang-undang.
Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan
telah melawan hukum secara formel.
Melawan hukum
materiel harus berarti hanya dalam arti negative, artinya kalau tidak ada
melawan hukum (materiel) maka merupakan dasar pembenar. Dalam penjatuhan pidana
harus dipakai hanya melawan hukum formel, artinya yang bertentangan dengan
hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta
yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Melawan hukum
sering merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya tersebut secara jelas
di dalam rumusan delik seperti pasal 362 KUHP (pencurian), pasal 372 KUHP
(Penggelapan) dan lain-lain. Kadang-kadang hanya tersirat di dalam rumusan
delik. Artinya melawan hukum secara umum. Misalnya pasal 338 KUHP (pembunuhan).
Di sini melawan hukum sebagai unsure dapatnya dipidana, bukan bagian inti
(bestanddeel) delik. Apabila yang tersebut pertama, bagian inti melawan hukum
tidak terbukti, maka putusannya bebas (vrijspraak). Jadi, melawan hukum sebagai
bagian inti harus tercantum dalam dakwaan, dan itulah yang harus dibuktikan.
Di muka telah
dikemukakan putusan Hoge Raad 1946, N.J. 1946 No. 548, mengenai “melawan hukum”
(yang bersifat umum) sebagai dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan.
Jadi, penjatuhan pidana hanya terjadi jika perbuatan dilakukan melawan hukum.
Sedangkan kalau
melawan hukum hanya unsure (element) atau Hazewinkel – Suringe menyebut cirri
(kenmerk), maka tidak perlu dicantumkan dalam dakwaan, dan tidak perlu
dibuktikan. Dipandang unsur melawan hukum ada, sampai dibuktikan sebaliknya,
bahwa perbuatan itu tidak melawan hukum. Jadi, putusannya ialah lepas dari
segala tuntutan hukum.
Dalam perkara
korupsi, diterima oleh Jurisprudensi dalam perkara Machfus Effendi MA 8 Januari
1966, Reg. No. 42 K/Kr/1965, tidak melawan hukum secara materiel (alasan
pembenar) : “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan,
melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau berdasarkan asas-asas hukum
yang tidak tertulis dan bersifat umum. Juga putusan Mahkamah Agung dalam
perkara Ir. Otjo Danuatmaja (M.A. 20 Maret 1977, Reg. No. 81 K/Kr/1973)
diputuskan hal yang sama : “Tertuduh sebagai insinyur kehutanan dengan
memperhitungkan biaya reboisasi yang tidak dikurangi kemanfaatannya dengan
tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah,
menambah mobilitas serta untuk kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani
dan Negara tidak dirugikan, serta secara materiel tidak melawan hukum walaupun
perbuatannya termasuk dari rumusan delik yang bersangkutan.
Jadi, karena
telah mencocoki rumusan delik, maka telah melawan hukum secara formel.
Dalam kedua
kasus korupsi tersebut, Mahkamah Agung “melepas dari segala tuntutan hukum”
terdakwa yang berarti tidak melawan hukum secara materiel, merupakan dasar
peniadaan pidana di luar Undang-undang.
i.
Sifat
Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana
Seorang penulis
(Vost) yang menganut pendirian yang materiel, memformulir perbuatan yang
bersifat melawan hukum sebagai : perbuatan yang oleh masyarakat tidak
dibolehkan.
Formulering ini
dipengaruhi oleh arrest H.R. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama
Lindenbaum Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R. Belanda
mengatakan : “perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) adalah perbuatan
saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang
dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.
Simons
berpendapat : “Untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik
yang tersebut dalam wet. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk
menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak. Selanjutnya dalam
halaman 275 beliau berkata : “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum
yang materiel tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan
kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, di
bawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus
diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet
adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya
boleh diterima apabila mempunyai dasar dalam hukum positif sendiri”.
Bagaimanakah
pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada
mengikuti ajaran yang materiel. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada
saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah
undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hamper semua hukum
Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Kiranya perlu
ditegaskan di sini bahwa di mana peraturan-peraturan hukum pidana kita sebagian
besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain perundang-undangan,
maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiel di atas, hanya
mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam
perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana. Biasanya ini
dinamakan fungsi yang negative dari sifat
melawan hukum yang materiel. Adapun fungsi yang positif, yaitu perbuatan
tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu
dianggap keliru, berhubung dengan adanya azas legalitas, (pasal 1 ayat 1 KUHP)
dalam hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain halnya di dalam hukum perdata, yang
berhubung dengan adanya pasal 1365 BW (barangsiapa dengan perbuatan melawan
hukum menimbulkan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut
apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi) fungsi yang positif itu
penting juga. Di sini bagaimanapun macamnya perbuatan tidak ditentukan,
sehingga tiap-tiap perbuatan hukum termasuk di situ.
Kalau kita
mengikuti pandangan yang materiel maka perbedaannya dengan pandangan yang
formal adalah :
1. mengakui
adanya pengecualian / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut
hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis; sedangkan pandangan yang formal
hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya
pasal 49. Pembelaan terpaksa (noodweer).
2. Sifat
melawan hukum adalah unsure mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana,
juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang
bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada
perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata,
barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui
bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus
selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah
harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah
dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan
delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada
umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat
unsure melawan hukum di dalam rumusannya.
Apakah
konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu
menjadi unsur tiap-tiap delik? Konsekuensinya ialah : jika unsur melawan hukum
tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap dengan diam-diam
telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Sama halnya
dengan unsur kemampuan bertanggung jawab.
Konsekuensi yang
lain adalah : jika hakim ragu-ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum
ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan
oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana. Menurut Vos, Jonkers dan
Langemeyer dalam hal itu terdakwa harus
dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht-vervolging)
2.1.3 Unsur – unsur sifat melawan
hukum[7]
Ø Sifat melawan Hukum Formal
-
Perbuatan itu diancam pidana
-
Perbuatan itu sesuai dengan rumusan
delik (tindak pidana) dalam UU
-
Melawan hukum = melawan UU
-
Bertentangan dengan hukum posisi
(tertulis)
-
Sifat melawan hukumnya dapat dihapus
hanya dengan UU
Ø Sifat melawan Hukum Materiel
-
Perbuatan itu bertentangan dengan UU
-
Sekaligus bertentangan dengan norma /
hukum tidak tertulis
-
Hapusnya sifat melawan hukum
berdaasarkan UU dan aturan tidak tertulis
Ø Sifat melawan Hukum yang materiel,
berfungsi :
-
Secara positif : norma-norma tidak
tertulis dapat digunakan untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana.
-
Seara negative : norma-norma di luar
undang-undang dapat digunakan untuk menghapuskan sifat melawan hukum suatu
perbuatan yang memenuhi rumusan UU.
3.2
Analisis kasus[8]
Unsur melawan
hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran tentang “sifat melawan hukum” (SMH)
terdiri dari SMH formal dan SMH materiel. Dalam SMH formal hukum adalah hukum
tertulis yaitu peraturan perundang-undangan (wet).
Terpenuhinya
sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (onwetmatigedaad). Dalam SMH materiel, hukum tidak hanya
hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten law).
Terpenuhinya sifat melawan hukum bila pelaku melanggar hukum
(onrechtmatigedaad).
Kasus BPN Tuba
Kasus korupsi
yang didakwakan terhadap Syukri Hidayat, mantan Kepala Kantor BPN Tulangbawang,
cukup menarik dikaji, yakni dalam kaitan dengan ada-tidaknya unsur melawan
hukum. Syukri dijerat dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pemberantasan Korupsi (UUTPK) Pasal 12 huruf (e) atau Pasal 11.
Terdakwa pada
Maret 2008—Oktober 2009 berperan sebagai petugas Program Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah dalam pembuatan sertifikat hak milik transmigrasi Lampung.
Tugasnya antara lain survei lokasi, penyuluhan monitoring, dan penyelesaian
akhir sertifikat.
Kegiatan
dibiayai DIPA APBN 2008 Rp2,52 miliar, sedangkan yang dibiayai pemohon
sertifikat adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak
Penghasilan (PPh) dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan bagi yang terkena
dan biaya materi untuk leges alas hak. Karena adanya dana yang tidak dibiayai
DIPA, terdakwa menghubungi tujuh kepala kampung. Para kepala kampung
mengumpulkan dana dari pemohon sertifikat. Dana-dana tersebut telah diserahkan
terdakwa kepada atasannya Kepala Kanwil BPN Lampung.
Ketentuan Pasal
12 huruf (e) UUTPK adalah pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
sendiri.
Unsur pasal
Pasal 12 huruf (e) UUTPK adalah, pertama, unsur pegawai negeri atau
penyelenggara negara, terdakwa adalah PNS Kepala Kantor BPN Tulangbawang. Oleh karena
itu, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara terpenuhi.
Kedua, unsur
menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pengumpulan dana dari pemohon
sertikat adalah karena adanya biaya yang tidak terdapat dalam DIPA dan
berdasarkan surat Kanwil BPN Lampung yang menyatakan pemohon sertifikat
dikenakan biaya BPHTB. Dana yang terkumpul telah diserahkan kepada atasannya
sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Ketiga, unsur
memaksa seseorang. Pengertian memaksa tidak terdapat dalam UUTPK. Pengertian
memaksa terdapat dalam KUHP, antara lain dalam Pasal 285 dan 289 KUHP. Suatu
perbuatan dikategorikan memaksa bila ada bentuk tindakan kekerasan atau ancaman
kekerasan. Pengumpulan dana oleh kepala kampung dari pemohon dilakukan
sukarela.
Keempat, unsur
melawan hukum. Pengertian melawan hukum yaitu apabila perbuatan terdakwa
melanggar perundang-undangan. Berdasarkan kasus Syukri, tidak ada perbuatan
terdakwa yang perundang-undangan sebab berdasarkan pemeriksaan BPK tidak ada
temuan adanya penyimpangan.
Kelima, unsur
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau
mengerjakan sesuatu bagi dirinya tidak terpenuhi, karena tidak ada bukti
terdakwa melakukan perbuatan tersebut.
Ketentuan Pasal
11 UUTPK adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan karena kewenangan.
Unsur Janji
Unsur-unsur
Pasal 11 UUTPK sebagai berikut. Pertama, unsur pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Terdakwa adalah PNS sehingga unsur itu terpenuhi. Kedua,
unsur menerima hadiah atau janji. Pengumpulan dana pemohon oleh kepala kampung
bukan berupa hadiah atau janji. Dana tersebut diserahkan kepada atasannya
sebagai BPHTB atau PPh. Oleh karena itu, unsur menerima hadiah atau janji tidak
terpenuhi.
Ketiga, unsur
diberikan karena kewenangan. Pemberian dana biaya BPHTB atau PPh dari
Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan bagi yang terkena dan biaya materi untuk
leges alas hak adalah berhubungan dengan kewenangan yang berhubungan dengan
jabatan terdakwa, tetapi karena pemberian bukan merupakan hadiah atau janji,
unsur ini tidak terpenuhi.
BAB
3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dengan mengakui
bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus
selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah
harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah
dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan
delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada
umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat
unsure melawan hukum di dalam rumusannya.
Tindak
Pidana Korupsi mengenai unsure Perbuatan Melawan Hukum penjabarannya dalam
penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan bahwa yang
dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela akan tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjuk bahwa Tindak
Pidana Korupsi cukup dengan dipenuhinya unsure-unsur perbuatan yang sudah
durumuskan dengan timbulnya akibat.
DAFTAR
PUSTAKA
Samidjo, S.H, Hukum Pidana, armico, Bandung ,1989
Suarda, I Gede Widhiana, S.H.,M.Hum., Bayumedia
Publishing, 2012 file:///C:/Users/Acer/Documents/PIDANA/Sifat%20melawan%20Hukum%20_%20Fajar%20Blog.htm
(Soedjono
Dirdjosisworo, Fungsi perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm.17)
D. Hazewinkel –
Suringa, hlm, 254.
D. Hazewinkel –Suringa,
ibid, hlm, 254-255.
W.P.J. Pompe, op.cit,
hlm 94.
J.E. Jonkers, op.cit,
hlm 65
W.P.J. Pompe, op.cit,
hlm 104
[1]
(Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan
Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm.17)
[2] D.
Hazewinkel – Suringa, hlm, 254.
[3] D.
Hazewinkel –Suringa, ibid, hlm,
254-255.
[4]
W.P.J. Pompe, op.cit, hlm 94.
[5]
J.E. Jonkers, op.cit, hlm 65
[6]
W.P.J. Pompe, op.cit, hlm 104
[7] file:///C:/Users/Acer/Documents/PIDANA/Sifat%20melawan%20Hukum%20_%20Fajar%20Blog.htm
[8]
(Sumber: Lampung Post, 15 Desember 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar