-->

Kamis, 18 Oktober 2012

ANALISIS KASUS KORUPSI - HUKUM PIDANA







ANALISIS KASUS  KORUPSI DIHUBUNGKAN DENGAN UU No. 20 TAHUN 2001 SEBAGAI ASPEK SIFAT MELAWAN HUKUM



Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana semester 2




Oleh
RIZKI AMALIA PERTIWI
NIM 110710101294



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2012
Kata Pengantar
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong limpahkan berkah sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan kemudahan. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Sifat Melawan Hukum, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana semester dua. Makalah ini memuat tentang tema sifat melawan hukum yang menganalisis kasus korupsi yang dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 sebagai aspek sifat melawan hukum.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Tidak ada manusia yang sempurna termasuk dalam pengerjaan karya ilmiah ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.








Penulis






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
            Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus (ius singular, ius special atau bijzonder strafrecht) dan ketentuan hukum positif (ius constitutum) Indonesia tentang tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
            Secara yuridis formal pengertian tindak pidana korupsi[1] terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan 20 Bab III tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
            Dengan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi dalam pasal tersebut adalah :
1.      Setiap orang
2.      Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum
3.      Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
4.      Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
            Dari unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi tersebut maka rumusan mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum penjabarannya lebih lanjut terdapat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela akan tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjuk bahwa Tindak Pidana Korupsi cukup dengan dipenuhinya unsure-unsur perbuatan yang sudah durumuskan dengan timbulnya akibat.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi dan unsur sifat melawan hukum?
2.      Bagaimana analisis kasus korupsi jika dihubungkan dengan aspek sifat melawan hukum?

1.3  Perundang-undangan
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2.      Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

1.4  Tujuan
1.      Pemenuhan tugas mata kuliah Hukum Pidana
2.      Memberikan definisi dan unsur-unsur yang membangun sifat melawan hukum













BAB II
PEMBAHASAN
a.                  Definisi Sifat Melawan Hukum
2.1.1 Definisi sifat melawan hukum
Seringkali dalam praktek sehari-hari ada yang sepintas lalu sebagai perbuatan melawan hukum tetapi undang-undang memandangnya sebagai diperbolehkan oleh hukum, jadi tidak berlaku pembelaan terpaksa untuk melawannya. Misalnya perbuatan alat Negara yang menangkap dan menahan orang yang diduga keras telah melakukan delik. Disini jelas kelihatan melanggar kebebasan bergerak orang. Tetapi undang-undang memandangnya sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum, karena perbuatan tersebut sesuai dengan undang-undang yaitu pasal 21 KUHP.
Menurut Hazewinkel – Suringa, pembelaan terpaksa (noodweer) itu merupakan dasar pembenar, oleh karena itu barangsiapa yang membela diri mempunyai hak untuk itu. Jadi, tidak dibolehkan pembelaan terpaksa (noodweer) terhadap pembelaan terpaksa (noodweer). Pembelaan terpaksa hanya terjadi jika ada perbuatan membela diri terhadap serangan yang melawan hukum.[2]
Kemudian, kita lihat bahwa pengertian “melawan hukum” itu sendiri bermacam-macam. Ada mengartikan sebagai “tanpa hak ssendiri” (Zonder eigen recht), “bertentangan dengan hak orang lain” (tegen eens anders recht), “bertentangan dengan hukum obyektif” (tegen het objective recht).
Menurut Hazewinkel – Suringa, pilihan terhadap salah satu jenis “tanpa hak sendiri”, “bertentangan dengan hak orang lain”, “bertentangan dengan hukum objektif” tetap harus diperhatikan. Diberi contoh, serangan tiba-tiba binatang buas. Menurut Van Hamel binatang ini berbuat tanpa hak sendiri dan dengan demikian melawan hukum, dan diperbolehkan pembelaan terpaksa. Tetapi Hoge Raad dan pengarang pada umumnya, binatang itu tidak tunduk kepada hukum, jadi tidak mungkin berbuat bertentangan dengan hukum objektif, dan oleh karenanya tidak merupakan “melawan hukum”. Tertutuplah kemungkinan pembelaan terpaksa Hoge Raad menerima sebagai keadaan darurat (noodtoestand).[3]
Karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, Noyon-Langemeyer (1954) mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. Misalnya Hoge Raad dengan Arrestnya tanggal 28 Juni 1911, dalam menerapkan Pasal 326 Ned : W.v.S. (=Pasal 378 KUHP) mengatakan “de dader geen eigen recht op de bevoordeling heft” (terdakwa tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu). Menurut Pompe “melawan hukum” dalam kasus tersebut berarti melawan hukum tidak tertulis.[4]
Contoh lain, menurut Hoge Raad 31 Oktober 1932, N.J. 1993 hlm. 321 melawan hukum menurut pasal 522 KUHP yang mengancam pidana terhadap saksi, ahli atau juru bahasa yang tidak datang secara melawan hukum yang dipanggil menurut undang-undang, berarti : “Zonder geldige redden wegbleven, indien de betrokkene verplicht is te verschhijnen” (tanpa alasan yang wajar tidak datang, yang bersangkutan wajib menghadap).[5]
Dibedakan pula pengertian melawan hukum formel dan materiel. Menurut Pompe, dari istilahnya saja sudah jelas, melawan hukum (wederrech telijk) jadi bertentangan dengan hukum, bukan bertentangan dengan undang-undang. Dengan demikian, Pompe memandang “melawan hukum” sebagai yang kita maksud dengan “melawan hukum materiel”. Ia melihat kata on rechtmatig, (bertentangan dengan hukum) sinonim dengan Wederhechtelijk (melawan hukum) sesuai dengan Pasal 1365 BW, sama dengan pengertian Hoge Raad dalam perkara Cohen-Lindenbaum (HR 31 Januari 1919 N.J. 1919 hlm.161 W. 10365), yang juga meliputi perbuatan bertentangan dengan hukum tidak tertulis, yang bertentangan dengan kepatutan, dipandang melawan hukum.2 [6]
Sedangkan melawan hukum secara formal diartikan bertentangan dengan undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formel.
Melawan hukum materiel harus berarti hanya dalam arti negative, artinya kalau tidak ada melawan hukum (materiel) maka merupakan dasar pembenar. Dalam penjatuhan pidana harus dipakai hanya melawan hukum formel, artinya yang bertentangan dengan hukum positif yang tertulis, karena alasan asas nullum crimen sine lege stricta yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Melawan hukum sering merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya tersebut secara jelas di dalam rumusan delik seperti pasal 362 KUHP (pencurian), pasal 372 KUHP (Penggelapan) dan lain-lain. Kadang-kadang hanya tersirat di dalam rumusan delik. Artinya melawan hukum secara umum. Misalnya pasal 338 KUHP (pembunuhan). Di sini melawan hukum sebagai unsure dapatnya dipidana, bukan bagian inti (bestanddeel) delik. Apabila yang tersebut pertama, bagian inti melawan hukum tidak terbukti, maka putusannya bebas (vrijspraak). Jadi, melawan hukum sebagai bagian inti harus tercantum dalam dakwaan, dan itulah yang harus dibuktikan.
Di muka telah dikemukakan putusan Hoge Raad 1946, N.J. 1946 No. 548, mengenai “melawan hukum” (yang bersifat umum) sebagai dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan. Jadi, penjatuhan pidana hanya terjadi jika perbuatan dilakukan melawan hukum.
Sedangkan kalau melawan hukum hanya unsure (element) atau Hazewinkel – Suringe menyebut cirri (kenmerk), maka tidak perlu dicantumkan dalam dakwaan, dan tidak perlu dibuktikan. Dipandang unsur melawan hukum ada, sampai dibuktikan sebaliknya, bahwa perbuatan itu tidak melawan hukum. Jadi, putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam perkara korupsi, diterima oleh Jurisprudensi dalam perkara Machfus Effendi MA 8 Januari 1966, Reg. No. 42 K/Kr/1965, tidak melawan hukum secara materiel (alasan pembenar) : “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Juga putusan Mahkamah Agung dalam perkara Ir. Otjo Danuatmaja (M.A. 20 Maret 1977, Reg. No. 81 K/Kr/1973) diputuskan hal yang sama : “Tertuduh sebagai insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang tidak dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah, menambah mobilitas serta untuk kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani dan Negara tidak dirugikan, serta secara materiel tidak melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk dari rumusan delik yang bersangkutan.
Jadi, karena telah mencocoki rumusan delik, maka telah melawan hukum secara formel.
Dalam kedua kasus korupsi tersebut, Mahkamah Agung “melepas dari segala tuntutan hukum” terdakwa yang berarti tidak melawan hukum secara materiel, merupakan dasar peniadaan pidana di luar Undang-undang.
                    i.                  Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Pidana
Seorang penulis (Vost) yang menganut pendirian yang materiel, memformulir perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai : perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan.
Formulering ini dipengaruhi oleh arrest H.R. Nederland tahun 1919, yang terkenal dengan nama Lindenbaum Cohen Arrest mengenai perkara perdata. Di situ H.R. Belanda mengatakan : “perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) adalah perbuatan saja perbuatan yang bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut”.
Simons berpendapat : “Untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet. Jika sudah demikian, biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak. Selanjutnya dalam halaman 275 beliau berkata : “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiel tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, di bawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar dalam hukum positif sendiri”.
Bagaimanakah pendirian kita terhadap soal ini? Kiranya tidaklah mungkin selain daripada mengikuti ajaran yang materiel. Sebab bagi orang Indonesia belum pernah ada saat bahwa hukum dan undang-undang dipandang sama. Pikiran bahwa hukum adalah undang-undang belum pernah kita alami. Bahkan sebaliknya, hamper semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang tidak tertulis.
Kiranya perlu ditegaskan di sini bahwa di mana peraturan-peraturan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiel di atas, hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana. Biasanya ini dinamakan fungsi yang negative dari sifat melawan hukum yang materiel. Adapun fungsi yang positif, yaitu perbuatan tidak dilarang oleh undang-undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru, berhubung dengan adanya azas legalitas, (pasal 1 ayat 1 KUHP) dalam hukum pidana lalu tidak mungkin. Lain halnya di dalam hukum perdata, yang berhubung dengan adanya pasal 1365 BW (barangsiapa dengan perbuatan melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain harus mengganti kerugian tersebut apabila diminta oleh yang menderita kerugian tadi) fungsi yang positif itu penting juga. Di sini bagaimanapun macamnya perbuatan tidak ditentukan, sehingga tiap-tiap perbuatan hukum termasuk di situ.
Kalau kita mengikuti pandangan yang materiel maka perbedaannya dengan pandangan yang formal adalah :
1.      mengakui adanya pengecualian / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis; sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49. Pembelaan terpaksa (noodweer).
2.      Sifat melawan hukum adalah unsure mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsure melawan hukum di dalam rumusannya.
Apakah konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik? Konsekuensinya ialah : jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa. Sama halnya dengan unsur kemampuan bertanggung jawab.
Konsekuensi yang lain adalah : jika hakim ragu-ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana. Menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal itu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht-vervolging)
2.1.3 Unsur – unsur sifat melawan hukum[7]
Ø  Sifat melawan Hukum Formal
-          Perbuatan itu diancam pidana
-          Perbuatan itu sesuai dengan rumusan delik (tindak pidana) dalam UU
-          Melawan hukum = melawan UU
-          Bertentangan dengan hukum posisi (tertulis)
-          Sifat melawan hukumnya dapat dihapus hanya dengan UU
Ø  Sifat melawan Hukum Materiel
-          Perbuatan itu bertentangan dengan UU
-          Sekaligus bertentangan dengan norma / hukum tidak tertulis
-          Hapusnya sifat melawan hukum berdaasarkan UU dan aturan tidak tertulis
Ø  Sifat melawan Hukum yang materiel, berfungsi :
-          Secara positif : norma-norma tidak tertulis dapat digunakan untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
-          Seara negative : norma-norma di luar undang-undang dapat digunakan untuk menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan UU.
3.2 Analisis kasus[8]
Unsur melawan hukum dalam hukum pidana terdapat ajaran tentang “sifat melawan hukum” (SMH) terdiri dari SMH formal dan SMH materiel. Dalam SMH formal hukum adalah hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan (wet).
Terpenuhinya sifat melawan hukum apabila pelaku melanggar atu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad). Dalam SMH materiel, hukum tidak hanya hukum tertulis, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (unwritten law). Terpenuhinya sifat melawan hukum bila pelaku melanggar hukum (onrechtmatigedaad).
Kasus BPN Tuba
Kasus korupsi yang didakwakan terhadap Syukri Hidayat, mantan Kepala Kantor BPN Tulangbawang, cukup menarik dikaji, yakni dalam kaitan dengan ada-tidaknya unsur melawan hukum. Syukri dijerat dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pemberantasan Korupsi (UUTPK) Pasal 12 huruf (e) atau Pasal 11.
Terdakwa pada Maret 2008—Oktober 2009 berperan sebagai petugas Program Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah dalam pembuatan sertifikat hak milik transmigrasi Lampung. Tugasnya antara lain survei lokasi, penyuluhan monitoring, dan penyelesaian akhir sertifikat.
Kegiatan dibiayai DIPA APBN 2008 Rp2,52 miliar, sedangkan yang dibiayai pemohon sertifikat adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak Penghasilan (PPh) dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan bagi yang terkena dan biaya materi untuk leges alas hak. Karena adanya dana yang tidak dibiayai DIPA, terdakwa menghubungi tujuh kepala kampung. Para kepala kampung mengumpulkan dana dari pemohon sertifikat. Dana-dana tersebut telah diserahkan terdakwa kepada atasannya Kepala Kanwil BPN Lampung.
Ketentuan Pasal 12 huruf (e) UUTPK adalah pegawai negeri yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Unsur pasal Pasal 12 huruf (e) UUTPK adalah, pertama, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara, terdakwa adalah PNS Kepala Kantor BPN Tulangbawang. Oleh karena itu, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara terpenuhi.
Kedua, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Pengumpulan dana dari pemohon sertikat adalah karena adanya biaya yang tidak terdapat dalam DIPA dan berdasarkan surat Kanwil BPN Lampung yang menyatakan pemohon sertifikat dikenakan biaya BPHTB. Dana yang terkumpul telah diserahkan kepada atasannya sehingga unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Ketiga, unsur memaksa seseorang. Pengertian memaksa tidak terdapat dalam UUTPK. Pengertian memaksa terdapat dalam KUHP, antara lain dalam Pasal 285 dan 289 KUHP. Suatu perbuatan dikategorikan memaksa bila ada bentuk tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pengumpulan dana oleh kepala kampung dari pemohon dilakukan sukarela.
Keempat, unsur melawan hukum. Pengertian melawan hukum yaitu apabila perbuatan terdakwa melanggar perundang-undangan. Berdasarkan kasus Syukri, tidak ada perbuatan terdakwa yang perundang-undangan sebab berdasarkan pemeriksaan BPK tidak ada temuan adanya penyimpangan.
Kelima, unsur memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya tidak terpenuhi, karena tidak ada bukti terdakwa melakukan perbuatan tersebut.
Ketentuan Pasal 11 UUTPK adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan karena kewenangan.
Unsur Janji
Unsur-unsur Pasal 11 UUTPK sebagai berikut. Pertama, unsur pegawai negeri atau penyelenggara negara. Terdakwa adalah PNS sehingga unsur itu terpenuhi. Kedua, unsur menerima hadiah atau janji. Pengumpulan dana pemohon oleh kepala kampung bukan berupa hadiah atau janji. Dana tersebut diserahkan kepada atasannya sebagai BPHTB atau PPh. Oleh karena itu, unsur menerima hadiah atau janji tidak terpenuhi.
Ketiga, unsur diberikan karena kewenangan. Pemberian dana biaya BPHTB atau PPh dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan bagi yang terkena dan biaya materi untuk leges alas hak adalah berhubungan dengan kewenangan yang berhubungan dengan jabatan terdakwa, tetapi karena pemberian bukan merupakan hadiah atau janji, unsur ini tidak terpenuhi.




























BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsure melawan hukum di dalam rumusannya.
            Tindak Pidana Korupsi mengenai unsure Perbuatan Melawan Hukum penjabarannya dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela akan tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjuk bahwa Tindak Pidana Korupsi cukup dengan dipenuhinya unsure-unsur perbuatan yang sudah durumuskan dengan timbulnya akibat.










DAFTAR PUSTAKA

Samidjo, S.H, Hukum Pidana, armico, Bandung ,1989
Suarda, I Gede Widhiana, S.H.,M.Hum., Bayumedia Publishing, 2012 file:///C:/Users/Acer/Documents/PIDANA/Sifat%20melawan%20Hukum%20_%20Fajar%20Blog.htm
(Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm.17)
D. Hazewinkel – Suringa,  hlm, 254.
D. Hazewinkel –Suringa, ibid, hlm, 254-255.
W.P.J. Pompe, op.cit, hlm 94.
J.E. Jonkers, op.cit, hlm 65
W.P.J. Pompe, op.cit, hlm 104



[1] (Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm.17)
[2] D. Hazewinkel – Suringa,  hlm, 254.
[3] D. Hazewinkel –Suringa, ibid, hlm, 254-255.
[4] W.P.J. Pompe, op.cit, hlm 94.
[5] J.E. Jonkers, op.cit, hlm 65
[6] W.P.J. Pompe, op.cit, hlm 104
[7] file:///C:/Users/Acer/Documents/PIDANA/Sifat%20melawan%20Hukum%20_%20Fajar%20Blog.htm
[8] (Sumber: Lampung Post, 15 Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar